Welcome to Dianka's world. Be nice here. Thank you! +Follow | Dashboard
Diary Of Dianka
#Cerpen - Aditya & Rachel
Sunday, December 27, 2020 Sunday, December 27, 2020 0 comments

Aditya

Kepulan asap hitam menari di udara. Tertangkap oleh sudut penglihatan. Di sudut yang lain, sosok Rachel terbaring kaku. Sama sepertiku. Kini, aku tidak lagi merasakan sakit yang begitu hebat di kedua kaki maupun tulang rusukku. Seketika semuanya menghilang dan menjadi gelap.


Jakarta, 12 September 2011

Aku terbangun di suatu ruangan. Yang pertama aku lihat saat membuka mata adalah langit – langit ruangan tersebut, berhiaskan gambar pemandangan langit di siang hari. Cerah. Ruangan ini bukan kamarku, juga bukan salah satu kamar yang ada di Rumah Sakit pada umumnya. Lebih tepatnya ini kamar seorang…..perempuan!

Kepalaku tidak lagi pening. Aku menatap sekeliling ruangan, sambil berusaha mengingat pemilik kamar tempatku berada saat ini. Beruntung. Terdapat beberapa frame foto yang tertata rapi di meja kerja yang berada di sudut ruangan. Aku pun menghampiri. Sekian detik aku tercengang. Ada sosok yang sangat ku kenali, tersenyum manis di dalam potret foto di dalamnya. Senyum yang hanya dimiliki oleh Rachel, tunanganku.

Bila ini kamar Rachel, lalu mengapa aku berada disini?

♡ ♡ ♡ 

“Ayah sudah berkali – kali menasehati ibu untuk menghentikan semua ini. Tapi, sedikit pun ibu tidak mau mendengarkan. Seperti ini kan akibatnya.” Suara berat seorang laki – laki terdengar jelas. Aku terdiam mendengarkan percakapan tersebut di balik dinding kaca yang memisahkan ruang tamu dan ruang keluarga. Tak ingin menyela maupun membela salah satu diantaranya. Hanya ingin mendengar dengan seksama.

“Ibu tidak menyangka hal ini bisa terjadi. Ibu juga tidak mengharapkannya.” Wanita itu terisak. Menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. “Ibu hanya ingin yang terbaik untuk Rachel.” ucapnya lirih.

Laki – laki itu menghampiri dan mengusap lembut punggung istrinya. “Sekarang, anak kita satu – satunya tidak sadarkan diri. Ayah tidak rela bila harus kehilangan Rachel.”

Di kesunyian mereka saling merapatkan diri dalam pelukan. Air mata belum juga berhenti mengalir dari wajah ibu Rachel. Sama halnya dengan ayah Rachel. Kegelisahan dan kekhawatiran terlihat jelas dari raut wajahnya.

Perkataan dari ayah Rachel bagaikan tamparan keras untukku. Aku mendapatkan fakta baru bahwa Rachel tidak sadarkan diri. Oh Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi? Sungguh, aku tidak mengerti dengan rencana – Mu.

♡ ♡ ♡ 

Rachel

Tiba – tiba, suara dentuman keras dari arah belakang mobil yang dikendarai oleh Aditya memenuhi seluruh isi kepalaku. Membuat telingaku hampir tuli. Benar saja, suara itu adalah suara terakhir yang aku dengar sebelum akhirnya kami berdua terombang – ambing di dalam mobil dan terhempas keras dari udara. Kepalaku berat. Sekujur tubuhku pun sama. Aku tak kuasa untuk sekedar membuka mata. Kini, semuanya menjadi gelap dan sunyi.


Jakarta, 12 September 2011

Untuk pertama kalinya setelah tertidur cukup lama, aku membuka mata. Hanya warna putih yang terlihat. Tidak ada warna lain. Awalnya, aku kira hal itu hanyalah efek dari kecelakaan yang terjadi kemarin. Namun, aku telah salah. Aku berada di dimensi yang berbeda dengan kehidupanku di dunia nyata. Tempat ini sangat asing. Aku ingin kembali bersama orang tuaku dan juga Aditya.

Di kejauhan aku melihat sebuah celah yang bersinar. Perlahan, aku berjalan mendekatinya. Ajaib. Tubuhku tidak lagi terasa berat. Namun, semakin aku dekati, sinar itu semakin lama menghilang.

♡ ♡ ♡ 

Aditya

Jakarta, 13 September 2011

Aku pergi menuju Rumah Sakit dengan menumpang naik mobil keluarga Rachel. Anehnya, mereka tidak menyadari keberadaanku. Sepanjang perjalanan, mereka hanya diam. Tidak ada percakapan hangat seperti yang biasa mereka lakukan saat Rachel masih baik – baik saja.

Ruang ICU. Seorang yang sangat aku sayangi terbaring disana. Irama detak jantungnya yang lemah menggema memenuhi ruangan. Jarum infus melilit di kedua tangannya. Serta masker pemberi oksigen, menutupi setengah wajahnya. Namun, Rachel masih saja terlihat cantik. Tidak ada yang berubah seperti saat kami pertama kali bertemu di sebuah café di daerah Kemang, Jakarta Selatan.

Miris melihat keadaan Rachel seperti ini. Lemah tidak berdaya. Berbeda 180° dengan kesehariannya yang ceria dan selalu bersemangat. Tidak henti – hentinya aku menghakimi diri sendiri. Aku lah yang seharusnya bertanggung jawab atas semua kejadian yang menimpa kami berdua. Ah, seandainya saja malam itu kami tidak jadi pergi menemui Richard. Seandainya saja kontainer besar itu tidak menabrak mobil yang aku kendarai.

Seandainya saja…..

♡ ♡ ♡ 

Rachel

Jakarta, 13 September 2011

Aku telah sampai pada titik akhir. Aku berhasil menjangkaunya sebelum akhirnya sinar itu menghilang. Sejujurnya, aku cukup senang karena tidak lagi berada disana. Namun, aku terlambat menyadari bahwa sesungguhnya tempatku berada saat ini semakin menjauhiku dari semua kehidupan di dunia nyata.

♡ ♡ ♡ 

Aditya

Jakarta, 13 September 2011

Terdengar suara bising diikuti dengan suara langkah kaki beberapa orang yang lalu – lalang.

“Dokter, kondisi pasien semakin lama melemah…” Samar – samar, kalimat itulah yang aku dengar.

Ayah Rachel bangkit dari tempat duduknya dan membuka sedikit tirai yang membatasi kamar Rachel dengan ruangan di sebelahnya. Penasaran, aku ikut memperhatikan. Dokter maupun suster menutupi penglihatanku untuk melihat wajah pasien itu. Aku sangat terkejut saat mendapati sosok laki – laki yang terbaring di ranjang. Wajahnya, tubuhnya, seluruhnya adalah…..diriku.

♡ ♡ ♡ 

Rachel

Kini, aku telah berada di suatu tempat yang berbeda dari sebelumnya. Aku tidak lagi sendiri. Ada Adityadisebelahku, menggenggam erat jemari tanganku. Seakan tidak ingin berpisah untuk kesekian kalinya. Aditya menatapku. Dari sorot matanya menyiratkan agar aku tidak usah mengkhawatirkan apa yang sebentar lagi akan kami hadapi. Aditya berbisik di telingaku. “Selamanya kita akan tetap bersama..”


Tamat - 

Labels: ,


Kamar 19
Saturday, July 16, 2016 Saturday, July 16, 2016 0 comments

Dinding kelabu. Remang tanpa cahaya. Sudah pasti ini bukan kamarku, apalagi kamarmu. Sekilas tidak ada yang mampu aku lihat. Namun, sesuatu yang berwarna samar di pojok sebelah kanan terlihat bagai guratan. Garis yang tidak jelas, sebuah tanda, pecahan kode rahasia, atau apa?

Seketika rasa sakit menjalar di kepalaku. Ah tidak, aku harus memusatkan perhatian kepada coretan di dinding itu. Aku yakin, ada pesan tersirat yang harus aku ungkap. Mungkin, sedikit banyak bisa membantuku. Walaupun persentasenya tidak tau seberapa. Tolonglah, untuk kali ini saja. 

Pasrah. Memaksakan diri untuk paham terhadap situasi ini hanya membuat kepalaku semakin sakit. Berdenyut-denyut. Seakan dibebani suatu hal yang mustahil adanya. 

Aku sudah tidak bisa lagi merasakan jemari-jemari kaki dan tanganku. Kebas. Ikatan ini sungguh menyakitkan. Semakin aku memberontak, darah yang keluar akan semakin banyak. 

Kebebasanku direnggut. Aku tidak bisa terus seperti ini.

Menanti ajalku datang dalam keadaan terikat. Sungguh bukan kematian yang aku inginkan. Manusia macam apa yang berani melakukan hal keji ini kepadaku? Oh ya, tentu saja hanya dia satu-satunya yang bisa. Psikopat. Dalang dari peristiwa terjatuhnya pesawat FH150. Hanya karena aku menunda pernikahan dengannya. Sungguh tega..

Lamunanku  terbang tinggi. Menjauhi ragaku yang masih terpusat pada rentetan peristiwa di masa lalu. Seandainya saja, saat itu aku tidak ketumpahan kopi panas. Ragaku takkan berada disini. Mungkin, aku sedang dieksekusi.

Kenyataannya, aku disini. Menatap langit-langit kamar yang sudah lapuk. Menangisi keberuntungan dan kesialan yang datang beruntun di hidupku. Seolah tidak membiarkanku bernapas lega walau hanya sedetik.

Mama, Papa. Maafkan aku. Aku menjadi lemah tak berdaya. Sesungguhnya aku hanya berpura-pura di atas kelemahanku. Aku kehilangan kekuatan untuk berjuang. Apalah artinya kini. Diri ini bagai raga tak bernyawa.

Tik. Tok. Suara detik jam. Rupanya telinga sebelah kanan masih mampu menerima gelombang suara walau hanya sepersekian microsound. Tapi dimana letak jam itu? Pentingkah saat ini aku menanyakan waktu?

Tiba-tiba saja, ada suara lain yang membuatku waspada. Derap langkah kaki. Sudah pasti itu langkah psikopat yang sebentar lagi akan menghabisi nyawaku.

Mungkin ini saatnya.. Lebih baik aku berpura-pura terlelap dalam tidur. Dan saat aku terbangun nanti, ini semua hanyalah bagian dari mimpi buruk. Semoga.



Oktober, 2015

Pintu ruangan yang terbuka, berderit nyaring. Menandakan usianya yang sudah menua. Sama tuanya seperti bangunan yang menaungi kamar itu. Seketika ruangan yang sejak tadi gelap gulita, kini bagaikan telah dipasangi ratusan lampu.

Mustahil perempuan yang terbaring diatas tempat tidur untuk tidak terbangun. Melihat siapa gerangan yang telah mengganggu tidurnya. Namun, keadaan tetap sama. Gadis itu tidak mengubah posisinya. Bahkan saat terlelap, ia masih terlihat anggun. Seakan sudah diatur sedemikian rupa. 

Berdirilah dua orang pria dan satu perempuan dewasa. Menatap canggung keadaan sekeliling ruangan. Tidak ada satu pun diantara mereka yang mau membuka pernyataan terlebih dahulu. Seolah pita suara dan mulut mereka terkunci rapat.  

Ada jeda yang panjang disana. Waktu tidak pernah berhenti. Hanya mereka yang larut dalam imaji. 
Salah seorang pria tersebut mengangguk memberi isyarat untuk pergi meninggalkan kamar itu. Pelan, mereka kembali menutup pintu. Menjauhi gadis manis yang terdiam kaku di atas ranjangnya.

--

Semilir angin musim semi, menyapu dedaunan yang gugur dari pohon akasia. Seharusnya, hari ini merupakan hari yang istimewa untuk seseorang. Hari ulang tahun gadis yang berada di salah satu kamar di Rumah Sakit Jiwa di Jakarta. 

“Dua hari yang lalu Rissa berontak. Ia memecahkan kaca jendela dengan menggunakan tangannya.” Seorang lelaki yang mengenakan jubah putih panjang, mulai menjelaskan, “Kami terpaksa mengikatnya. Saya minta maaf hal seperti ini bisa terjadi.”

Terkejut, sekaligus merasa iba terhadap nasib anak semata wayang mereka. Perempuan itu hanya bisa menangis tersedu di bahu suaminya.

“Tidak bisakah kalian melakukan suatu hal untuk Rissa? Berapa pun uang  yang diperlukan tidak jadi masalah asalkan Rissa, anak kami, bisa kembali seperti dulu.” Ucap Ayah Rissa. 

Dokter Jose diam selama beberapa detik. Memikirkan kata yang tepat, “Kondisi kejiwaan Rissa sangat tidak stabil. Hal tersebut diakibatkan karena syok hebat akibat dari kecelakaan yang dialami tunangannya. Untuk saat ini, kami hanya bisa memberikan terapi ringan kepada Rissa. Setelah 2 bulan, kami akan melihat lagi perkembangannya.”

“Apakah ada hal lain yang bisa kami lakukan, dokter?”

“Apabila Rissa telah menunjukkan perubahan-perubahan signifikan, Bapak atau Ibu akan segera kami hubungi. Di saat itu pula, bantuan dari beberapa teman terdekat Rissa mungkin diperlukan.”

---

Mei, 2010

Hari itu, awan di langit mendadak berubah gelap. Seolah akan menumpahkan seluruh isinya. Arissa yang sudah terlanjur bersiap-siap akan pulang kerumah selepas bekerja di kantor, mulai mengurungkan niatnya. Sambil membereskan berkas-berkas, ia kembali termenung menatap pemandangan ibukota dari kaca jendela Wisma Budaya. 

Rintik hujan yang turun membuat beberapa pejalan kaki menghentikan langkah kaki mereka dan segera menepi ke berbagai tempat yang dapat melindungi tubuh mereka.

‘Ah, ya. Aku harus mengabari Momsky. Sepertinya aku akan pulang telat malam ini.’ Gumam Rissa sambil mengetik pesan singkat kepada ibunya.

Walaupun tahun ini usia Rissa akan menjadi 23 tahun, namun ia masih menjadi kesayangan orang tuanya. Rissa tidak pernah sekali pun melakukan hal-hal yang dapat menyakiti hati orangtuanya. Ia selalu mengikuti semua perkataan orangtuanya. Rissa tumbuh menjadi seorang gadis yang penurut dan penuh kasih sayang.

“Hujannya makin lama deras ya..” 

Seorang laki-laki berkacamata dengan postur tubuh sekitar 180cm menghampiri Rissa. Harum segelas coklat panas yang di bawa olehnya menarik perhatian Rissa.

“Iya nih. Kalo aku pulang sekarang pasti basah kuyup, nanti aja deh nunggu hujannya reda,” Rissa kembali mengamati suasana di luar kantor, “Kamu sendiri kenapa belum pulang, kamu ada kendaraan pribadi bukan?”

“Nanti juga. Pulang sekarang pun pasti terjebak macet. Daripada bete di jalan mending istirahat dulu disini.”

- Bersambung

Jakarta, 5 Januari 2016 
Dian Kartika Sari

Labels:


A Little Note

Hello~ you're welcoming here. This is my official diary . All in this blog is mine. Blog consists of daily rants like what I do and what I like. Totally boring, so I'd suggest you click the 'x' at the top right corner of your screen

Profile
Stuff


Memories



Credits

This layout is best viewed in Chrome
Thanks to :

My Treasure

Buku
Cerpen
Islam
Desain
Kutipan
Motivasi
Manajemen
Untaian Kata
Catatan Pribadi